Perasaan bersalah memang kerap menghantui kita. Ia akan terus mengejar kita tanpa henti, sampai kita menyerah dan berhenti, memperhatikan apa yang disampaikannya pada kita. Bahkan jika tak ada seorang pun mengetahui apa yang kita perbuat, hati nurani berwujud perasaan bersalah akan memperingatkan kita akan kesalahan tersebut.
Walaupun kadang terasa mengganggu, perasaan ini berfungsi juga sebagai detektor pribadi kita. Kita jadi tahu ada yang tidak beres dalam hidup. Kita jadi tahu bahwa ada sesuatu yang salah dalam perbuatan kita. Tanpa perasaan ini, bisa-bisa kita akan berakhir di neraka tanpa menyadari apa kesalahan yang kita perbuat. Atau berada di pengadilan tanpa menyadari bahwa kitalah si pembunuh..
Hati nurani memang tak bisa dibohongi. Kecuali ia diabaikan, dia akan terus berteriak, mengingatkan kita, melambai-lambaikan tangannya pada kita agar kita berhenti sejenak dan memberitahukan ada bahaya jika kita terus saja berjalan tanpa menyadari bahwa ujung perjalanan itu adalah maut.
Mengapa Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden? Apakah karena Allah itu kejam? Bukan, melainkan agar mereka tidak tinggal dalam dosa dalam kekekalan. Mereka sudah berbuat dosa, namun dengan penebusan darah anak domba, mereka diselamatkan. Jika mereka tetap tinggal di
Tiap kita memang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Namun kita perlu untuk keluar dari lumpur itu. Di sinilah hati nurani berperan dalam hidup kita: untuk mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan itu salah dan tak berkenan kepada Tuhan.
Menurut survey, anak yang biasa dimanja dan tak pernah ditegor bisa berakhir menjadi seorang pelaku kriminal. Mengapa? Karena ia sudah tak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Namun, seorang anak yang telah terbiasa ditegor, diberitahukan kesalahannya, diajari nilai-nilai benar dan salah akan terbiasa dengan hal itu dan bertumbuh dalam nilai yang telah dianutnya sejak kecil. Hati nuraninya bagaimanapun, akan lebih terasah ketimbang mereka yang terbiasa dibela dan tak disalahkan.
Mungkin budaya ikut berpengaruh dalam hal ini. Kita memilih untuk menutup mulut jika melihat orang melakukan kesalahan. Padahal, tak selamanya diam itu berarti emas. Jika sesuatu memang harus dikonfrontasikan, ya berarti harus dikonfrontasikan. Jika tidak, coba pikirkan mengapa Tuhan menyuruh nabi Natan datang ke istana khusus untuk menegor Daud. Atau mengapa Tuhan mengirim nabi Elia untuk menegor Ahab atas kelakuannya yang jahat? Atau mengapa Yohanes Pembaptis diutus untuk mendahului Yesus dan bicara secara terang-terangan tentang dosa kepada orang Farisi dan ahli Taurat? Jika diam berarti emas, mengapa Tuhan tak mendiamkan saja dosa Daud, toh dia adalah seorang yang berkenan di hatiNya?
Bagaimanapun salah adalah salah. Kita tak bisa menutup mata dan berkata bahwa hitam adalah abu-abu, jadi tetap ada unsur putih di dalamnya, tak sepenuhnya hitam. Kita harus dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan tidak baik, mana yang kudus dan yang tidak kudus, kata Firman Tuhan. Tidak ada area abu-abu di dalam Dia, hanya ada putih atau hitam. Jangan pernah berkompromi dengan kejahatan!
Perasaan bersalah, dapat menjadi sebuah anugerah jika berada di hati yang tepat. Namun dapat berbalik menjadi dosa jika masuk ke dalam mulut yang tidak tepat. Karena ada orang-orang yang memilih untuk tak mendengarkan suara hati nurani mereka, melainkan balik menyalahkan orang lain atas setiap rasa bersalah yang menyergah mereka.
Sungguh sayang jika kita mengabaikan rasa bersalah ini. Toh perasaan ini ditaruh Tuhan sebagai alarm penjaga agar kita tidak melewati batas-batas yang Tuhan tetapkan. Karena seperti kita semua tahu, lewat dari batas, kita akan mendapati bahaya…
No comments:
Post a Comment