Friday, May 2, 2008

Tengku Ryan, Tukul, Gogon, dan.. Kita (Sindrom Ketemu Seleb)

Kemarin, sehabis kebaktian Kenaikan Tuhan Yesus, kami makan di sebuah resto. Ternyata, resto itu sudah dipesan oleh rombongan motor HD yang sedang tour. Dan di antara mereka, tebak ada siapa? Tengku Ryan. Wah, bisa bayangin gak sih hebohnya cewek-cewek ngeliat cowok ganteng gitu? Hmmhhh.....

Biasalah, sindrom ngeliat artis.. Kayaknya, tiap orang tuh selaluu aja kesengsem kalo liat artis. Biarpun misalnya Tukul yang dateng, pasti bawaannya heboh deh. Pengen salamanlah, foto bareng, minta tanda tangan dsb. Waktu aku ceritain sama seorang teman tentang ketemuan sama Tengku Ryan kemaren, dia –seperti sudah bisa ditebak- bilang gini 'Kok nggak SMS sih? Harusnya SMS dong biar aku ke sana...'. Sedangkan ada kenalanku yang ketemu sama Gogon di bandara aja sempet-sempetnya ngajak salaman. Iseng banget yah? Hihihi. Soalnya mereka tuh punya kesamaan: berjudul artis (atau selebriti). Coba kalo Tukul hanya sopir pribadi. Apa ada yang mau nyium-nyium dia? Boro-boro. Tapi karena dia seleb ya lain dong kisahnya.. Tapi nggak cuma kita, ternyata tiap orang di seluruh dunia ini memang suka ngeliat orang keren. Konon, di London pernah terjadi kemacetan karena banyak orang berhenti untuk perhatiin Leonardo diCaprio lagi syuting di daerah situ. Tuh kaan...

Orang dunia selalu suka dengan 'seseorang'. Paling nggak mereka tertarik pada seseorang yang hebat, keren, cantik, pintar, terkenal, pokoknya punya sesuatu untuk dibanggakan. Jika kita bukan siapa-siapa, jangan harap mereka menoleh penuh kekaguman deh, atau mengangguk hormat, yang ada 'mah memandang sebelah mata..

Ternyata, hal ini memang sudah jadi bakat bawaan manusia dari jaman dulu. Kalo hukum rimba menyatakan siapa yang kuat dia yang berkuasa, maka di dunia ini judulnya siapa yang bersinar paling berkilau, dia yang paling dapet perhatian. Masalah tahun depan dia sudah tergeser mah masalah lain. Yang penting, selama dia masih bersinar, semua orang bakal sibuk memujanya..

Melihat kenyataan itu, kita suka jadi ciut dan berharap seandainya kita lebih ini dan itu supaya bisa dapet banyak perhatian dari orang lain. Tapi Alkitab nggak pernah membahas hal itu. Buktinya, banyak tokoh Alkitab berangkat dari status bukan siapa siapa. Elia misalnya, hanya disebut sebagai 'Elia orang Tisbe, dari Tisbe Gilead' (I Raj 17:1). Tidak ada catatan apa-apa mengenai keluarganya, silsilahnya, kehidupan masa kecilnya atau apapun yang menjelaskan tentang dia. Tapi toh dia menjadi salah satu nabi besar yang dipakai Tuhan secara luar biasa.

Daud adalah contoh lain. Ketika semua kakaknya di'jentrek' (ini istilah orang Tegal yang artinya dibariskan atau dideret) untuk diaudisi menjadi raja, dia sama sekali tak masuk nominasi. Bahkan oleh ayahnya sendiri, dia hanya dianggap sebagai gembala domba, bukan seseorang yang patut dinominasikan menjadi raja. Tapi toh, Tuhan sendiri yang akhirnya mengangkatnya. Kita semua tahu kisah selebihnya. Banyak orang melihat bahwa Tuhan beserta dengan Daud dalam tahun-tahun kehidupan selanjutnya. Dan betapa dia kemudian sangat diberkati sudah bukan rahasia lagi bagi kita.

Yesus sendiri dipertanyakan. Ingat pertanyaan Natanael yang sangat terkenal itu? 'Apakah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?'. Atau pertanyaan orang sekampungNya, 'Bukankah Dia ini anak tukang kayu?'. (Jadi jangan marah dong kalo kamu juga dipertanyakan. Emang siapa lu? :) ).

Kadang, kita pikir kita harus hebat, sensasional, berkelas atau seksi supaya bisa mendapat perhatian banyak orang. Kita harus lebih pintar agar dibanggakan orang tua, lebih keren supaya gampang dapet pacar, lebih kreatif supaya lebih diperhatikan boss, atau hal-hal semacam itu. Padahal nggak jarang dengan melakukannya, kita jadi kehilangan identitas pribadi kita yang sesungguhnya. Jika Alkitab mencatat banyak tokohnya bermula sebagai 'bukan siapa-siapa', saya percaya bahwa ada pesan yang hendak disampaikan pada kita sebagai umat Tuhan untuk tidak mengandalkan kelebihan kita secara lahiriah.

Jangan pernah takut menjadi kelas dua (entah apa sebutannya: pecundang?) atau menjadi 'bukan siapa-siapa' sekalipun. Jika Tuhan mendapati kualitas yang ada dalam diri kita, nggak mustahil Dia akan melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang dapat kita pikirkan. Yang penting bukanlah siapa kita, melainkan apa yang ada dalam hati kita. Kita bisa memalsukan identitas pribadi kita dengan pakaian mewah, perhiasan berkilauan atau apa yang tampak sebagai tampilan luar kita. Namun Tuhan yang melihat hati tak dapat dibohongi dengan semua kemilau palsu itu. Jika setelah mengenakan semua yang berkilau itu kita jadi tak dapat mengenali diri kita yang sebenarnya, lalu siapa diri kita sesungguhnya?

Jika kita mengawali langkah kita sebagai bukan siapa siapa, tak dikenal orang, bahkan mungkin di'under estimate'kan seperti kata Tukul, berbahagialah. Siapa tahu Tuhan sedang memproses kita untuk jadi seseorang dengan caraNya yang misterius. Cari tahu apa yang Dia kehendaki dan berjalanlah bersamaNya. Jika kita nggak bisa melakukan lompatan-lompatannya, Tuhan bisa melakukan terobosan-terobosan yang sensasional dengan caraNya sendiri bagi kita.

Kekayaan, kepopuleran dan keindahan dapat berlalu seiring berjalannya waktu. Tapi hati kita dapat dibaharui di dalam Tuhan. Jika selama ini kita memberikan hidup pada apa yang hanya bersifat sementara, mungkin ini waktunya bagi kita untuk lebih merenungkan tentang arti hidup ini. Bukankah lebih baik kita mengejar apa yang tak tampak namun sifatnya kekal?

Menurut kamu, hal-hal apa saja itu?

Thursday, May 1, 2008

Mengapa Tuhan Begitu Peduli Pada Kita

Mungkin ini pertanyaan yang sederhana, bodoh, dan aneh.

Tapi ada banyak orang yang belum tahu jawabannya..

Well, karena ini pertanyaan bodoh, maka mungkin jawabannya juga nggak hebat hebat amat. Tuhan begitu mengasihi dan perduli pada kita karena Ia telah membayar sangat mahal untuk membeli kita, yaitu dengan DarahNya sendiri.

Bayangkan jika kamu harus mengeluarkan uang 8 juta rupiah untuk membeli sebuah tas bermerk (yang pastinya kamu idam-idamkan!). Kamu menabung sekian lama, menghemat di sini sana, sampai akhirnya kamu benar-benar bisa membeli tas itu dengan jerih payahmu. Apa kamu akan merelakan tas itu jika ada yang memintanya? Hohoho, tunggu dulu. Kalo cuma tas seharga tiga puluh ribu yang beli di emperan mall mah ambil saja. Tapi kalo yang delapan juta? Hmmgghh.... Jangan berani berani ya! :)

Harga memang nggak bisa bohong. Dia akan menyatakan kualitasnya, juga perasaan kita kepadanya. Pernah denger kan kenapa ada cowok-cowok yang gampang mutusin cewek mereka? Pasti jawabannya karena 'Abis gampang didapet sih. Jadi nggak seru lagi...'.

Ini pemikiran yang sangat sederhana. Saya pun akan berlaku sama pada barang barang yang saya dapatkan dengan susah payah. Dibersihkan, dijaga, dirawat, jangan kena debu, langsung dimasukkan kembali ke tempatnya, kalo bisa jangan disentuh orang lain, di'empling-empling' kata orang Tegal. Pokoknya dipelihara baik baik, deh!

Jika dengan DarahNya yang begitu mahal Ia menebus kita, bisa bayangkan kan gimana repotnya Dia agar kita mendapat pemeliharaan yang terbaik?